Nasib Pedagang Asongan di Perkotaan: Antara Bertahan dan Terlupakan

Kalau kamu pernah naik KRL, bis kota, atau sekadar berhenti di perempatan besar, pasti akrab dengan kehadiran pedagang asongan. Mereka muncul membawa aneka barang, dari air mineral, tisu, mainan, korek api, sampai buku teka-teki silang. Ciri khas mereka? Suara lantang menawarkan dagangan, tatapan cepat membaca peluang, dan gerak gesit berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan lain.
Pedagang asongan adalah bagian dari denyut nadi kota—diam-diam mereka menyuplai kebutuhan kecil yang sering kita butuhkan saat darurat. Tapi, di balik itu semua, kehidupan mereka makin hari makin berat.
Kota Makin Modern, Asongan Makin Terpinggirkan
Seiring kota-kota besar di Indonesia berlomba membangun sistem transportasi modern, ruang gerak pedagang asongan makin sempit. Stasiun-stasiun KRL kini steril dari aktivitas informal. Terminal dibuat lebih tertib. Jalur pedestrian dibenahi, CCTV dipasang, dan patroli satpol PP makin sering. Di satu sisi, ini langkah bagus untuk ketertiban kota. Tapi di sisi lain, ke mana pedagang asongan harus pergi? Mereka tidak punya toko, tidak ada modal besar, dan dagangan mereka bukan produk digital yang bisa dijual lewat marketplace. Akibatnya, banyak yang terpaksa berpindah ke jalanan, lampu merah, atau sekadar menepi di pinggir trotoar, berharap ada yang butuh sesuatu.
Siapa Mereka Sebenarnya?
Lebih dari Sekadar Penjual Barang Murah
Pedagang asongan itu bukan hanya profesi, tapi solusi hidup bagi mereka yang tidak terserap oleh sistem formal. Banyak dari mereka adalah orang tua tunggal, lulusan SD, atau mantan buruh yang kehilangan pekerjaan. Mereka bangun lebih pagi dari kebanyakan orang, menyiapkan dagangan, dan berjalan kaki berkilo-kilo meter setiap hari. Mereka hidup dari recehan yang dikumpulkan dengan sabar. Tidak sedikit pula yang menjadi tulang punggung keluarga. Artinya, hilangnya ruang untuk mereka bukan cuma tentang kehilangan pekerjaan, tapi juga hilangnya mata rantai penghidupan.
Pelanggan yang Menghilang
Dulu, saat kendaraan umum masih penuh interaksi, pedagang asongan jadi bagian dari rutinitas. Tapi sekarang? Banyak orang sibuk dengan ponsel, pakai headset, atau sengaja menunduk agar tak berinteraksi. Orang juga makin jarang membawa uang tunai, padahal asongan belum tentu punya QRIS. Ditambah larangan resmi di berbagai tempat umum, pelanggan pedagang asongan makin sedikit. Mereka bukan tidak mau taat aturan, tapi tidak punya alternatif lain.
Mitos Tentang Pedagang Asongan
“Mereka Ganggu Ketertiban”
Faktanya, tidak semua pedagang asongan mengganggu. Banyak dari mereka yang sopan, tahu diri, dan cepat mundur jika ditolak. Justru mereka lebih sering jadi korban pengusiran mendadak, barang disita, bahkan diperlakukan kasar. Padahal yang mereka lakukan hanyalah berusaha hidup.
“Asongan Itu Usaha Kuno”
Memang tampaknya sederhana, tapi jangan salah. Mereka punya strategi. Menyasar lokasi padat, jam ramai, dan membaca karakter konsumen dengan cepat. Bahkan banyak dari mereka yang hapal harga pasar dan mampu bersaing dengan warung. Usaha ini bukan kuno, hanya belum diberi ruang beradaptasi.
Peluang Modernisasi Pedagang Asongan
Bisa Nggak Sih, Asongan Go Digital?
Jawabannya: bisa, tapi butuh jembatan. Pemerintah atau komunitas bisa memfasilitasi pelatihan dasar digital seperti membuat katalog, pakai dompet digital, atau jualan via WhatsApp Group. Bayangkan pedagang asongan yang biasa mangkal di lampu merah, kini bisa ditanya lewat chat: “Bang, air mineral dua ya. Saya di halte depan.” Praktis, cepat, dan tetap informal tapi lebih aman.
Warung Asongan Mini
Daripada digusur, bagaimana kalau mereka diberikan booth kecil di titik-titik ramai? Desain sederhana, teratur, dan mereka bisa menjual barang seperti biasa tapi dalam format yang lebih rapi. Ini sudah dilakukan di beberapa negara Asia. Asongan bukan dihapus, tapi ditata. Dari sana muncul rasa aman bagi pembeli, dan marwah usaha kecil tetap dijaga.
Perspektif Sosial: Kita Bisa Apa?
Ubah Pandangan, Bukan Hapus Keberadaan
Masyarakat perkotaan perlu berhenti melihat pedagang asongan sebagai “gangguan”. Mereka adalah bagian dari kota, sama seperti musisi jalanan, tukang tambal ban, atau tukang parkir. Kita bisa mulai dari hal kecil: senyum saat ditawari, tolak dengan sopan, atau bantu promosikan dagangan mereka kalau memang layak.
Dorong Inklusi, Bukan Eksklusi
Kota yang baik adalah kota yang bisa menampung semua warganya, tak peduli latar belakangnya. Kalau semua diarahkan ke digital tapi tidak semua bisa ikut, akan ada ketimpangan. Maka penting bagi pemerintah, pegiat sosial, dan warga untuk bersama menciptakan skema baru: urban inclusive economy. Pedagang asongan harus dapat tempat dalam perencanaan kota yang manusiawi.
Pedagang Asongan Tidak Hilang, Hanya Terdesak
Nasib pedagang asongan di perkotaan bukan sekadar soal pekerjaan yang perlahan menghilang. Ini cermin dari kota yang makin modern tapi juga makin individualistis. Mereka tidak hilang, tapi terdesak oleh aturan, teknologi, dan gaya hidup baru. Namun masih ada harapan. Jika kita mau melihat mereka bukan sebagai masalah, tapi bagian dari solusi sosial, maka ruang itu bisa dibuka lagi. Bukan dengan menghapus, tapi menata dan memberdayakan. Siapa tahu, kota yang adil bukan kota tanpa asongan, tapi kota yang tetap punya tempat untuk mereka.